Ibu Dengan HIV/AIDS Bisa Melahirkan Anak Negatif HIV
Seorang ibu HIV positif bisa menularkan virus secara vertikal ke bayinya pada masa kehamilan atau saat persalinan. Tapi saat ini kemungkinan tersebut bisa dicegah. Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) memiliki 99,8% kemungkinan melahirkan anak negatif HIV jika kehamilan direncanakan dengan baik. Itu artinya, kini hanya 0,2% kemungkinan bayi lahir tertular HIV dari ibu.
Bagaimana pasangan ODHA bisa hamil dan punya anak negatif? Simak ulasan berikut.
Merencanakan Kehamilan dan Persalinan Bagi Pasangan Dengan HIV/AIDS (ODHA)
Terinfeksi HIV/AIDS bukan berarti Anda tidak bisa memiliki buah hati. Pasangan dengan HIV/AIDS (ODHA) bisa memiliki anak sehat dan tak tertular HIV/AIDS. Satu syaratnya adalah perencanaan kehamilan yang matang. Mengapa?
Orang tua dengan HIV/AIDS yang tidak melakukan perawatan apapun selama kehamilan memiliki peluang 35-40% untuk menularkan virus tersebut kepada buah hatinya. Hanya sekitar 60% bayi yang lahir dari ibu ODHA tidak tertular HIV.
Namun risiko penularan HIV secara vertikal tersebut bisa dikurangi hingga 0,1% jika ibu dengan HIV melakukan terapi minum obat sejak awal merencanakan kehamilan.
ODHA yang ingin memiliki anak diimbau untuk rutin meminum obat antiretroviral (ARV) setiap hari, sesuai yang diresepkan dokter. Dengan meminum obat ARV setiap hari tanpa putus dapat menekan jumlah virus (viral load) dalam darah hingga pada jumlah yang tidak lagi terdeteksi.
ODHA juga harus memastikan CD4 (ukuran kekebalan tubuh) berada di atas 500. Dua kondisi ini memungkinkan ibu dengan HIV dapat menjaga kesehatannya selama kehamilan dan mencegah bayinya tertular HIV secara vertikal.
Selain dua hal tersebut, spesialis alergi dan imunologi klinis, Dr. dr. Haridana Indah Setiawati Mahdi, Sp.PD-KAI menyarankan pasangan ODHA untuk tetap memakai kondom saat berhubungan seksual.
“Misalnya istrinya positif HIV dan suaminya negatif atau sebaliknya atau keduanya sama-sama positif maka mereka tetap pakai kondom. Saya sarankan lepas kondomnya saat masa subur saja,” kata dr. Indah dalam wawancaranya dengan Hello Sehat, Senin (25/1).
Selama Masa Kehamilan Hingga Melahirkan
Setelah positif hamil, ibu ODHA harus tetap rutin minum obat, menjaga kesehatan, menjaga CD4 selalu diatas 500, dan viral load rendah hingga tidak terdeteksi. Selama sang ibu rajin minum obat tanpa putus sesuai dengan anjuran dokter kemungkinan besar dua kondisi ini bisa tercapai.
“Kalau sudah hamil, obat antivirus tetap harus diminum. Perlu diketahui, obat antivirus ini tidak menyebabkan bayi itu lahir cacat,” kata dr. Indah menekankan pentingnya minum obat ARV.
Selain itu, ibu ODHA juga bisa melahirkan dengan cara normal. Syaratnya yakni CD4 dalam keadaan bagus yakni diatas 500 dan viral load yang tidak terdeteksi. Kondisi tersebut memungkinkan sang ibu untuk melahirkan secara normal tanpa menularkan virus.
Namun jika berada di kota besar seperti di Jakarta, dr. Indah lebih menyarankan para ibu ODHA untuk melahirkan dengan cara sectio atau operasi caesar.
“Alhamdulillah sampai saat ini pasien-pasien ODHA kami (RS Kanker Dharmais) itu tidak ada yang terinfeksi HIV ketika melahirkan. Ada bayi yang terinfeksi (HIV/AIDS) itu kalau ibunya nggak periksa,” kata dr. Indah.
Program PMTCT
Untuk mencegah penularan ibu ke janin, WHO dan pemerintah Indonesia memiliki program Prevention of Mother to Child Transmission (PMTCT) yang bisa diikuti oleh semua ODHA secara gratis. Program PMTCT yang ada sejak tahun 2004 ini menanggung biaya selama kehamilan hingga persalinan.
Selain memberi pendampingan pada ODHA yang sedang hamil, program PMTCT juga mewajibkan semua ibu hamil melakukan pengecekan HIV/AIDS. Tes ini tersedia gratis di Puskesmas terdekat. Hanya saja hingga saat ini masih banyak ibu hamil yang menolak untuk melakukan pengetesan HIV/AIDS.
Pemahaman masyarakat harus ditingkatkan, mengingat kemungkinan penularan dari ibu ke anaknya sangat bisa dicegah dengan penanganan yang tepat sebelum dan selama kehamilan.
HIV tak ubahnya penyakit kronis lain yang “hanya” memerlukan kepatuhan untuk minum obat secara teratur. Dengan kata lain, HIV tak lagi semematikan ketika kasusnya pertama kali ditemukan pada dekade 1980-an lalu.
Leave a Comment