Kata burnout pertama kali digunakan oleh Herbert Freudenberger pada tahun 1974 dan digunakan sebagai model teori hingga saat ini. Sindrom burnout didefiniskan sebagai ketidakmampuan untuk mengatasi stress pada saat kerja secara efektif, dan lebih diasosiasikan dengan stress kronik akibat kejadian sehari-hari dibandingkan dengan pada saat tertentu. Faktor individu dan organisasi terlibat dalam terjadinya burnout. Karakteristik individu, seperti kepribadian, nilai, tujuan, usia, tingkat edukasi, dan situasi keluarga dapat berinteraksi dengan lingkungan dan faktor resiko kerja, yang dapat memperburuk ataupun membantu melawan kejadian tersebut.
Walaupun istilah burnout tidak disebutkan sebagai gangguan dalam klasifikasi Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM), namun istilah ini dikategorikan dalam 10th revision of the International Classification of Diseases (ICD-10) sebagai “problems related to life-management difficulty” dan dideskripsikan pada Z.73.0 sebagai “burnout—state of total exhaustion”.

Epidemiologi
Menurut WHO, 1 diantara 4 orang di dunia akan terkana gangguan mental atau neurologis pada waktu tertentu selama hidupnya. Sekitar 450 juta orang saat ini menderita hal tersebut, dan menempatkan gangguan jiwa sebagai penyebab utama dari sakit dan disabilitas di seluruh dunia.2 Sindrom burnout dapat berperan sebagai prekursor atau berkolerasi dengan depresi kronis. Paparan terhadap tekanan hidup pada kejadian tertentu selama ini telah dihubungkan dengan terjadinya gangguan depresi dan resiko dapat meningkat terhadap seberapa pentingnya kejadian tersebut terhadap seseorang. Faktor stres kronis yang berhubungan dengan pekerjaan dan berlangsung selama beberapa bulan ataupun tahun dapat menyebabkan gangguan yang lebih berat. Tanggapan terhadap faktor piskososial di tempat kerja berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya gangguan depresi mayor. Stres yang berhubungan dengan pekerjaan dapat menyebabkan gangguan pada kepuasan pegawai, produktivitas kerja, kesehatan mental dan fisik, dan menyebabkan peningkatan abstinensi, yang kemudian menyebabkan gangguan pada keluarga.


Prevalensi gangguan depresi bervariasi dan dapat terjadi pada 3% hingga 1/3 pegawai pada studi cross-sectional.1 Berdasarkan sebuah studi systematic review mengenai prevalensi burnout pada dokter yang melibatkan 182 studi dari 109.628 individu di 45 negara dari tahun 1991-2018, prevalensi burnout yang dilaporkan adalah 67.0% (122/182 studi) dengan kisaran data yang bervariasi antara 0-80.5%. Studi tersebut secara umum, 85.7% (156/182 studi) menggunakan Maslach Burnout Inventory (MBI) untuk penilaian burnout.3


Prevalensi ini menunjukkan estimasi burnout keseluruhan ataupun burnout pada subkomponen tertentu. Burnout keseluruhan terjadi pada 67.0% (122/182) studi, dan pada subkomponen terjadi pada 72.0% (131/182) studi untuk kelelahan emosional, 68.1% (124/182) studi untuk depersonalisasi, dan 63.2% (115/182) untuk tingkat capaian individu yang rendah.3
Di Indonesia, berdasarkan penelitian dengan menggunakan kuesioner Abbreviated Maslach Burnout Inventory (aMBI) yang dilakukan pada 193 mahasiswa program profesi dokter Fakultas Kedokteran Unhas angkatan 2011 periode Oktober 2016, terdiri dari 65 (33.67%) mahasiswa dan 128 (66.33%) mahasiswi, didapatkan hasil berupa 45.08% mahasiswa dengan burnout syndrome, dimana pada 39,89% didapatkan burnout syndrome rendah, 4,14% dengan burnout syndrome sedang, dan 1,03% dengan burnout syndrome tinggi.


Faktor Penyebab
Faktor resiko yang berhubungan dengan sindrom burnout antara lain: 

Karakteristik pekerjaan yang negatif

-         Konflik Kerja

-         Beban Kerja: Pekerjaan melebihi batas, beban kerja teralu banyak, kebosanan

-         Sumber daya yang kurang

-         Kurangnya input/feedback

-         Keamanan kerja kurang

-         Ketidakseimbangan antara usaha dan balas jasa

-         Lamanya masa pelatihan dan kepuasan yang tertunda

Faktor Pekerjaan

-         Hirarki

-         Kurangnya pegawai

-         Kebutuhan pegawai yang tinggi

-         Tahun kerja pada pekerjaan saat ini dibandingkan dengan usia

Faktor organisasi

-         Perubahan susunan organisasi yang cepat secara berkelanjutan

Demografi

-         Dewasa muda

-         Belum menikah/Perempuan dengan anak

Kepribadian

-         Rendahnya daya tahan

-         Rendahnya penghargaan diri

Sikap Kerja

-         Ekspektasi tinggi yang tidak realistis

-         Masalah finansial/gaji

 

Tabel 1. Faktor resiko burnout


Sindrom Burnout diperkirakan biasa terjadi pada guru dan petugas medis. Pada petugas medis, pekerjaan yang merupakan faktor resiko terjadinya sindrom burnout antara lain:1
Dokter, Onkologi, Bedah, Anaestesi, Dokter pada unit kerja AIDS, Dokter pada perawatan intensif, Unit perawatan intensif neonates, Staf pengajar pendidikan kedokteran, Praktisi Rehabilitasi, Petugas emergensi, Dokter gigi, Perawat, Petugas sosial medis, Petugas kesehatan jiwa, Psikolog, Petugas Okupasi, Terapi, Petugas Terapi Wicara, Residen dan mahasiswa kedokteran.

Tanda dan Gejala

Berdasarkan MBI, burnout diindikasikan melalui nilai yang tinggi pada kelelahan emosional dan depersonalisasi, serta nilai yang rendah pada skala capaian individu.

Kelelahan emosional

Berkurangnya energi dan rasa antusias pada pekerjaan; emosional dan kognitif menjauh dari pekerjaan

Depersonalisasi

Sinis; cenderung mengurangi keterlibatan dan menjauhi pasien; menanganani pasien tidak sebagai objek hidup.

Capaian individu

Rasa berhasil dan efektif; dalam keterlibatan, komitmen dan janji; dalam kapasitas untuk melakukan inovasi, adanya perubahan dan perbaikan.


Oleh : Mururul Aisyi, Sp.A(K)

Share:

Tags:

Leave a Comment